Yogyakarta, 31 Agustus 2025 – InformasiTerkininews.id | Pewarta: Ifa

Langit Yogyakarta sore itu seakan menunduk muram. Suasana yang semula riuh dengan lantang suara mahasiswa, sorak-sorai tuntutan, dan pekik perjuangan, mendadak berubah pilu. Seorang mahasiswa Universitas Amikom Yogyakarta, Rheza Sendy Pratama, akhirnya menghembuskan napas terakhir di tengah situasi mencekam aksi demonstrasi besar-besaran yang digelar di Kota Pelajar, Ahad (31/8/2025).

Rheza, mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi angkatan 2023, hadir bersama ribuan massa aksi. Ia datang bukan sekadar ikut-ikutan, melainkan dengan kesadaran penuh bahwa suara mahasiswa adalah suara rakyat. Namun takdir berkata lain. Di tengah kericuhan, motor yang ditungganginya tiba-tiba mati ketika hendak berbalik arah. Saat itulah aparat menembakkan gas air mata ke arah kerumunan. Dalam kepulan gas pekat, Rheza terjatuh. Rekannya yang dibonceng berhasil menyelamatkan diri, tapi Rheza tergeletak tak berdaya.

Saksi mata menyebut, bukannya segera ditolong, tubuh Rheza justru dikepung aparat. Tindakan represif itu membuat nyawa seorang anak bangsa melayang, menorehkan luka yang tak akan mudah sembuh di hati mahasiswa Yogyakarta, bahkan Indonesia.


Gelombang Duka & Solidaritas

Kabar gugurnya Rheza langsung menyebar cepat. Media sosial mahasiswa dipenuhi ucapan belasungkawa, kemarahan, sekaligus seruan perlawanan. BEM Universitas Amikom Yogyakarta pun mengeluarkan pernyataan resmi, menegaskan kehilangan besar ini sebagai luka kolektif.

"Kami segenap keluarga besar BEM Amikom Yogyakarta menyampaikan duka cita mendalam. Semoga Allah SWT melapangkan kuburnya, mengampuni segala khilafnya, dan menempatkan almarhum di sisi terbaik-Nya. Kepada keluarga yang ditinggalkan, semoga diberi kekuatan dan ketabahan," demikian bunyi pernyataan tersebut.

Bagi rekan-rekannya, Rheza bukan sekadar mahasiswa. Ia adalah simbol perlawanan yang tumbang di jalan perjuangan. Sosok yang dikenal rendah hati itu kini menjadi martir baru dalam perjalanan panjang demokrasi Indonesia.


Potret Kekerasan Negara

Kematian Rheza membuka kembali luka lama bangsa ini: kekerasan aparat terhadap gerakan mahasiswa. Sejarah mencatat, dari era 1966, 1998, hingga kini, mahasiswa kerap menjadi korban dari represi negara.

Pertanyaan besar kembali menggema: sampai kapan suara rakyat dianggap ancaman? Sampai kapan ruang demokrasi dikebiri dengan gas air mata dan kekerasan bersenjata?

Kematian Rheza bukan hanya kehilangan bagi keluarga dan kampus, melainkan juga cambuk bagi gerakan mahasiswa nasional. Ia gugur bukan karena sakit atau musibah biasa, melainkan dalam ruang perjuangan—ruang yang seharusnya dijaga kehormatannya.


Suara Jalanan Tak Akan Padam

Meski kehilangan seorang kawan, semangat juang mahasiswa tak boleh padam. “Hidup mahasiswa, hidup rakyat Indonesia!” terus bergema di antara isak tangis dan amarah.

Kini, nama Rheza Sendy Pratama akan dikenang dalam sejarah pergerakan mahasiswa Indonesia. Ia adalah anak bangsa yang memilih berdiri di barisan rakyat, hingga akhirnya menyerahkan nyawa di medan demokrasi.

Duka memang mendalam, tapi api perjuangan tak akan padam. Dari tubuh Rheza yang tumbang, lahir tekad baru: memperjuangkan demokrasi yang lebih manusiawi, adil, dan bermartabat.

Selamat jalan, kawan. Perjuanganmu tak akan sia-sia.

#HidupMahasiswa #PanjangUmurPerjuanganRakyat #Merdeka