Jakarta, Minggu 31 Agustus 2025 – InformasiTerkininews.id —
Fenomena aksi massa yang kerap terjadi di berbagai daerah belakangan ini menunjukkan dinamika yang tidak sederhana. Sebagai bagian dari kebebasan berpendapat di ruang publik, unjuk rasa tentu menjadi sarana sah untuk menyampaikan aspirasi. Namun, dalam realitasnya, pergerakan massa pada saat demonstrasi sering kali terbagi dalam beberapa fase dengan karakteristik berbeda yang perlu dicermati secara cermat.
Berdasarkan hasil pemantauan lapangan, ada setidaknya tiga pola utama yang dapat diidentifikasi:
1. Kelompok Demonstran Formal
Massa inti yang terdiri dari mahasiswa, buruh, hingga ormas terorganisir. Mereka tampil dengan atribut jelas, menyuarakan tuntutan yang konkret, dan bergerak dalam koridor konstitusional. Umumnya, aksi ini berlangsung siang hari usai salat Dhuhur hingga menjelang Maghrib. Setelah menyampaikan orasi dan pernyataan sikap, kelompok ini biasanya membubarkan diri secara tertib dan kembali ke posko masing-masing.
2. Massa Pasca Aksi
Selepas aksi resmi berakhir, muncul kelompok massa yang tetap bertahan. Waktunya berkisar sore hingga malam, mulai usai salat Ashar hingga pukul 22.00 atau bahkan mendekati tengah malam. Meski tidak lagi mengenakan atribut resmi, kelompok ini masih menyuarakan tuntutan yang terkait dengan demonstrasi utama. Kehadiran mereka memperpanjang denyut aspirasi, sekaligus menunjukkan bahwa gerakan massa tidak serta-merta berhenti setelah aksi formal bubar.
3. Unsur Anarkhis
Fenomena paling berbahaya muncul di fase berikutnya: kelompok anarkhis. Biasanya hadir sejak awal hingga tengah malam, tanpa identitas maupun tuntutan yang jelas. Aksi mereka tidak lagi terkait dengan substansi demo, melainkan lebih condong pada tindakan brutal: membuat kerusuhan, merusak fasilitas umum, bahkan menjarah. Identitas mereka sulit dipastikan, dan dalam banyak kasus keberadaan kelompok ini justru merusak citra perjuangan yang sebelumnya disuarakan secara damai.
Mengurai Tantangan dan Strategi Penanganan
Fenomena tiga lapis pergerakan ini penting dipahami, baik oleh aparat keamanan, pemerintah, maupun masyarakat luas. Pasalnya, sering kali opini publik terdistorsi ketika aksi yang sejatinya damai justru diwarnai tindakan provokatif kelompok tak bertanggung jawab.
“Pemisahan antara demonstran yang sah, massa pasca aksi, dan kelompok anarkhis harus jelas. Jangan sampai semua digeneralisasi,” kata salah satu pengamat sosial politik kepada Terkininews.id. Menurutnya, jika penyikapan tidak proporsional, justru akan memicu ketidakpercayaan publik terhadap negara.
Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang lebih presisi:
Aparat keamanan dituntut mampu memilah antara aspirasi konstitusional dengan aksi kriminal.
Masyarakat harus lebih waspada terhadap provokasi, terutama di malam hari saat aksi kerap disusupi oknum anarkhis.
Media memiliki peran krusial untuk memberikan framing berimbang, agar publik tidak terjebak dalam persepsi keliru.
Kesimpulan
Aksi unjuk rasa adalah keniscayaan dalam demokrasi. Namun, dinamika pergerakan massa yang berlapis menunjukkan perlunya ketajaman analisis dan kecermatan respons. Dengan memahami karakteristik pergerakan ini, diharapkan seluruh pihak bisa lebih bijak dalam menyikapi, sekaligus menjaga agar ruang demokrasi tetap sehat, tanpa tercoreng oleh tindakan anarkhi segelintir pihak.
(Ifa)